BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS
create your own banner at mybannermaker.com!

Thursday, November 25, 2010

Pendengki Tidak Akan Sukses

Janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling mendengki, janganlah kalian saling membelakangi




"Janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling mendengki, janganlah kalian saling membelakangi (saling berpaling), dan janganlah kalian saling memutuskan. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara." (H.R. Muttafaq 'alaih)


Hadis ini diriwayatkan Imam al-Bukhari dalam "Al Adab" dan Muslim dalam "Al Birr". Lebih khusus tentang larangan dengki disebutkan oleh Rasulullah saw. dalam hadis lain:


“Hindarilah dengki karena dengki itu memakan (menghancurkan) kebaikan sebagaimana api memakan (menghancurkan) kayu bakar.” (H.R Abu Dawud).

Dengki didefiniskan oleh para ulama sebagai:

"Mengangankan hilangnya kenikamatan dari pemiliknya, baik kenikmatan (yang berhubungan dengan) agama maupun dunia."

Dari definisi di atas kita dapat memahami bahwa iri dengki tidak hanya menyangkut capaian-capaian yang bersifat duniawi, seperti rumah dan kendaraan, melainkan juga menyangkut capaian-capaian di lingkup keagamaan, misalnya dakwah. Ini juga berarti bahwa penyakit dengki bukan hanya menjangkiti kalangan awam. Iri dengki itu ternyata dapat menjalar dan menjangkiti kalangan yang dikategorikan berilmu, pejuang, dan da’i. Seorang da’i atau mubalig, misalnya, tidak suka melihat banyaknya pengikut da’i atau mubalig lain. Seorang yang berafiliasi kepada kelompok atau jama'ah tertentu sangat benci kepada kelompok atau jama'ah lain yang mendapatkan kemenangan-kemenangan. Dan masih banyak lagi bentuk lainnya dari sikap iri dengki di kalangan para “pejuang”. Tapi bagaimana ini bisa terjadi?

Imam al-Ghazali r.a. menjelaskan, “Tidak akan terjadi saling dengki di kalangan para ulama. Sebab yang mereka tuju adalah ma’rifatullah (mengenal Allah). Tujuan seperti itu bagaikan samudera luas yang tidak bertepi. Dan yang mereka cari adalah kedudukan di sisi Allah. Itu juga merupakan tujuan yang tidak terbatas. Karena kenikmatan paling tinggi yang ada pada sisi Allah adalah perjumpaan dengan-Nya. Dan dalam hal itu tidak akan ada saling dorong dan berdesak-desakan. Orang-orang yang melihat Allah tidak akan merasa sempit dengan adanya orang lain yang juga melihat-Nya. Bahkan, semakin banyak yang melihat semakin nikmatlah mereka.”

Al-Ghazali melanjutkan, “Akan tetapi, bila para ulama, dengan ilmunya itu menginginkan harta dan wibawa mereka pasti saling dengki. Sebab harta merupakan materi. Jika ia ada pada tangan seseorang pasti hilang dari tangan orang lain. Dan wibawa adalah penguasaan hati. Jika hati seseorang mengagungkan seorang ulama pasti orang itu tidak mengagungkan ulama lainnya. Hal itu dapat menjadi sebab saling dengki.” (Ihya-u ‘Ulumid-Din, Imam Al-Ghazali, juz III hal. 191.)

Jadi, dalam konteks perjuangan, dengki dapat merayapi hati orang yang merasa kalah wibawa, kalah popularitas, kalah pengaruh, kalah pengikut. Yang didengki tentulah pihak yang dianggapnya lebih dalam hal wibawa, polularitas, pengaruh, dan jumlah pengikut itu. Tidak mungkin seseorang merasa iri kepada orang yang dianggapnya lebih “kecil” atau lebih lemah. Sebuah pepatah Arab mengatakan, “Kullu dzi ni’matin mahsuudun.” (Setiap yang mendapat kenikmatan pasti didengki).

Penyakit dengki sangat berbahaya. Tapi bahayanya lebih besar mengancam si pendengki ketimbang orang yang didengki. Bahkan realitas membuktikan, sering kali pihak yang didengki justru diuntungkan dan mendapatkan banyak kebaikan. Sebaliknya, si pendengki menjadi pecundang. Di antara kekalahan-kekalahan pendengki adalah sebagai berikut.

Pertama, kegagalan dalam perjuangan.
Perilaku pendengki sering tidak terkendali. Dia bisa terjebak dalam tindakan merusak nama baik, mendeskreditkan, dan menghinakan orang yang didengkinya. Dengan cara itu ia membayangkan akan merusak citra, kredibelitas, dan daya tarik orang yang didengkinya dan sebaliknya mengangkat citra, nama baik, dan kredibelitas pihaknya. Namun kehendak Allah tidaklah demikian. Rasulullah saw. bersabda:

Dari Jabir dan Abu Ayyub al-Anshari, mereka mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada seorang pun yang menghinakan seorang Muslim di satu tempat yang padanya ia dinodai harga dirinya dan dirusak kehormatannya melainkan Allah akan menghinakan orang (yang menghina) itu di tempat yang ia inginkan pertolongan-Nya. Dan tidak seorang pun yang membela seorang Muslim di tempat yang padanya ia dinodai harga dirinya dan dirusak kehormatannya melainkan Allah akan membela orang (yang membela) itu di tempat yang ia menginginkan pembelaan-Nya.” (H.R. Ahmad, Abu Dawud, dan Ath-Thabrani)

Kedua, melumat habis kebaikan.
Rasulullah saw. bersabda, “Hindarilah dengki karena dengki itu memakan (menghancurkan) kebaikan sebagaimana api memakan (menghancurkan) kayu bakar.” (H.R. Abu Dawud).

Makna memakan kebaikan dijelaskan dalam kitab ‘Aunul Ma’bud, “Memusnahkan dan menghilangkan (nilai) ketaatan pendengki sebagaimana api membakar kayu bakar. Sebab kedengkian akan mengantarkan pengidapnya menggunjing orang yang didengki dan perbuatan buruk lainnya. Maka berpindahlah kebaikan si pendengki itu pada kehormatan orang yang didengki. Maka bertambahlah pada orang yang didengki kenikmatan demi kenikmatan sedangkan si pendengki bertambah kerugian demi kerugian. Sebagaimana yang Allah firmankan, ‘Ia merugi dunia dan akhirat’.” (‘Aunul-Ma’bud juz 13:168)

Ketiga, tidak produktif dengan kebajikan.
Rasulullah saw. bersabda, “Menjalar kepada kalian penyakit umat-umat (terdahulu): kedengkian dan kebencian. Itulah penyakit yang akan mencukur gundul. Aku tidak mengatakan bahwa penyakit itu mencukur rambut melainkan mencukur agama.” (H.R. At-Tirmidzi)

Islam yang rahmatan lil-'alamin yang dibawa oleh orang yang di dadanya memendam kedengkian tidak akan dapat dirasakan nikmatnya oleh orang lain. Bahkan pendengki itu tidak mampu untuk sekadar menyungging senyum, mengucapkan kata ‘selamat’, atau melambaikan tangan bagi saudaranya yang mendapat sukses, baik dalam urusan dunia maupun terkait dengan sukses dalam perjuangan. Apatah lagi untuk membantu dan mendukung saudaranya yang mendapat sukses itu. Dengan demikian Islam yang dibawanya tidak produktif dengan kebaikan alias gundul.

Keempat, menghancurkan harga diri.
Ketika seseorang melampiaskan kebencian dan kedengkian dengan melakukan propaganda busuk, hasutan, dan demarketing kepada pihak lain, jangan berangan bahwa semua orang akan terpengaruh olehnya. Yang terpengaruh hanyalah orang-orang yang tidak membuka mata terhadap realitas, tidak dapat berpikir objektif, atau memang sudah “satu frekuensi” dengan si pendengki. Akan tetapi banyak pula yang mencoba melakukan tabayyun, mencari informasi pembanding, dan berusaha berpikir objektif. Nah, semakin hebat gempuran kedengkian dan kebencian itu, bagi orang yang berpikir objektif justru akan semakin tahu kebusukan hati si pendengki. Orang yang memiliki hati nurani ternyata tidak senang dengan fitnah, isu murahan, atau intrik-intrik pecundang. Di mata mereka orang-orang yang bermental kerdil itu tidaklah simpatik dan tidak mengundang keberpihakan.

Orang yang banyak melakukan provokasi dan hanya bisa menjelek-jelekkan pihak lain juga akan terlihat di mata orang banyak sebagai orang yang tidak punya program dalam hidupnya. Dia tampil sebagai orang yang tidak dapat menampilkan sesuatu yang positif untuk “dijual”. Maka jalan pintasnya adalah mengorek-ngorek apa yang ia anggap sebagai kesalahan. Bahkan sesuatu yang baik di mata pendengki bisa disulap menjadi keburukan. Nah, mana ada orang yang sehat akalnya suka cara-cara seperti itu?

Kelima, menyerupai orang munafik.
Di antara perilaku orang munafik adalah selalu mencerca dan mencaci apa yang dilakukan oran lain terutama yang didengkinya. Jangankan yang tampak buruk, yang nyata-nyata baik pun akan dikecam dan dianggap buruk. Allah swt. menggambarkan prilaku itu sebagai prilaku orang munafik. Abi Mas’ud al-Anshari r.a. mengatakan, saat turun ayat tentang infaq para sahabat mulai memberikan infaq. Ketika ada orang Muslim yang memberi infaq dalam jumlah besar, orang-orang munafik mengatakan bahwa dia riya. Dan ketika ada orang Muslim yang berinfak dalam jumlah kecil, mereka mengatakan bahwa Allah tidak butuh dengan infak yang kecil itu. Maka turunlah ayat 79 At-Taubah. (Al-Bukhari dan Muslim)

Keenam, gelap mata dan tidak termotivasi untuk memperbaiki diri.
Pendengki biasanya sulit melihat kelemahan dan kekurangan diri sendiri dan tidak dapat melihat kelebihan pada pihak lain. Akibatnya pula jalan kebenaran yang terang benderang menjadi kelam tertutup mega kedengkian. Apa pun yang dikatakan, apa pun yang dilakukan dan apa pun yang datang dari orang yang dibenci dan didengkinya adalah salah dan tidak baik. Akhirnya dia tidak dapat melaksanakan perintah Allah swt. sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, “Orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal." (Q.S. Az-Zumar 39: 18)

Di sisi lain, pendengki –manakala mengalami kekalahan dan kegagalan dalam perjuangan— cenderung mencari kambing hitam. Ia menuduh pihak luar sebagai biang kegagalan dan bukannya melakukan muhasabah (introspeksi). Semakin larut dalam mencari-cari kesalahan pihak lain akan semakin habis waktunya dan semakin terkuras potensinya hingga tak mampu memperbaiki diri. Dan tentu saja sikap ini hanya akan menambah keterpurukan dan sama sekali tidak dapat memberikan manfaat sedikit pun untuk mewujudkan kemenangan yang didambakannya.

Ketujuh, membebani diri sendiri.
Iri dengki adalah beban berat. Bayangkan, setiap melihat orang yang didengkinya dengan segala kesuksesannya, mukanya akan menjadi tertekuk, lidahnya mengeluarkan sumpah serapah, bibirnya berat untuk tersenyum, dan yang lebih bahaya hatinya semakin penuh dengan marah, benci, curiga, kesal, kecewa, resah, dan perasaan-perasaan negatif lainnya. Nikmatkah kehidupan yang penuh dengan perasaan itu? Seperti layaknya penyakit, ketika dipelihara akan mendatangkan penyakit lainnya. Demikian pula penyakit hati yang bernama iri dengki. “Di dalam hati mereka ada penyakit maka Allah tambahkan kepada mereka penyakit (lainnya).” (Q.S. Al Baqarah 2: 10)

Jika demikian, mengertilah kita makna pernyataan seorang ulama salaf, seperti disebutkan dalam kitab Kasyful-Khafa 1:430
"Pendengki tidak akan pernah sukses.” Wallahu A’lam.



Sumber: ust.Tate Q,Lc

Read More......

Wednesday, November 24, 2010

Makanan Halal dan Thoyyib

By : UmmuZaidTaqy
Bismillah...
Alhamdulillah..dapat pencerahan sekaligus menambah ilmu pada taklim ummahat kemarin.


Berbagai usaha dari berbagai pihak, dalam mencapai kemaslahatan umat. Kemaslahatan dapat diartikan ketika manusia berusaha mencapai segala kebaikan hidup dan manusiapun mampu menolak segala keburukan hidup. Tentunya, kebaikan dan keburukan itu menyangkup kehidupan dunia dan akhirat.
Termasuk di antara keluasan dan kemudahan dalam syari’at Islam, Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menghalalkan semua makanan yang mengandung maslahat dan manfaat, baik yang kembalinya kepada ruh maupun jasad, baik kepada individu maupun masyarakat. Demikian pula sebaliknya Allah mengharamkan semua makanan yang memudhorotkan atau yang mudhorotnya lebih besar daripada manfaatnya. Hal ini tidak lain untuk menjaga kesucian dan kebaikan hati, akal, ruh, dan jasad, yang mana baik atau buruknya keempat perkara ini sangat ditentukan -setelah hidayah dari Allah- dengan makanan yang masuk ke dalam tubuh manusia yang kemudian akan berubah menjadi darah dan daging sebagai unsur penyusun hati dan jasadnya. Karenanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah bersabda:


أَيُّمَا لَحْمٍ نَبَتَ مِنَ الْحَرَامِ فَالنَّارُ أَوْلَى لَهُ
“Daging mana saja yang tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih pantas untuknya”.


Baiklah, pada kesempatan kali ini kita berbicara mengenai asupan yang masuk kedalam tubuh kita, baik berupa makanan dan minuman.
Sebagai negara yang bermayoritas muslim terbesar, diperlukan "aware" yang tinggi atas apapun yang masuk kedalam tubuh kita.
Mungkin semua sudah mengetahui, bahwa makan dan minum adalah salah satu kebutuhan manusia. Jika kita flashback ilmu pengetahuan mengenai sel yang ada di tubuh kita, dimana berjumlah 100 trilyun sel dalam tubuh manusia. Inilah makanya kita butuh makanan untuk kelangsungan hidup. Begitu juga ampas metabolisme yang bersifat racun mesti dibuang. Sel sel dari beberapa jaringan tubuh setelah jangka waktu tertentu mati(bisa mencapai 17 milyar) dan ini harus diganti dengan sel baru untuk melanjutkan tugas sel yang telah mati. Bila jaringan tubuh melakukan kerja maka ia perlu energi, dan energi ini asalnya harus dari makanan. Makanan tadi haruslah sesuai mengenai jenis dan banyaknya dengan apa yang dibutuhkan oleh sel-sel tubuh. Ya..lagi-lagi, kesempurnaan itu hanya milik Allah, disini juga terjadi keseimbangan.

Nah..Dalam hadits shohih, Hr Muslim

و حَدَّثَنِي أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ حَدَّثَنَا فُضَيْلُ بْنُ مَرْزُوقٍ حَدَّثَنِي عَدِيُّ بْنُ ثَابِتٍ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ
{ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ }
وَقَالَ
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ }
ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

Dan telah menceritakan kepadaku [Abu Kuraib Muhammad bin Al Ala`] Telah menceritakan kepada kami [Abu Usamah] Telah menceritakan kepada kami [Fudlail bin Marzuq] telah menceritakan kepadaku [Adi bin Tsabit] dari [Abu Hazim] dari [Abu Hurairah] ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu baik. Dia tidak akan menerima sesuatu melainkan yang baik pula. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-Nya: 'Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.' Dan Allah juga berfirman: 'Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang Telah menceritakan kepada kami telah kami rezekikan kepadamu.'" Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menceritakan tentang seroang laki-laki yang telah lama berjalan karena jauhnya jarak yang ditempuhnya. Sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo'a: "Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku." Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dengan makanan yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do'anya?."

Allah sudah mengingatkan kita, bagaimana kita diperintahkan untuk memakan makanan yang baik.
Ada 2 substansi yang harus kita perhatikan disini, mengenai "baik" yang dimaksud. Bisa dari segi kehalalan dan ke-thoyib an nya.

وَكُلُواْ مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّهُ حَلاَلاً طَيِّباً وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِيَ أَنتُم بِهِ مُؤْمِنُونَ
Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.(QS Al Maidah:88)

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.(QS Al Baqarah:168)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُواْ لِلّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.(QS Al Baqarah:172)

Makanan halal, jelas halalnya..tidak ada makanan 80% halal, 90% halal atau 100% halal..Menurut narasumber dari LPPOM-MUI, halal itu mutlak, maka nilai persentase itu yang sedang mereka usahakan agar hukum halal ini JELAS adanya.

Berikut keterangan tentang halal/haramnya makanan berdasarkan kaidah islam yang berlaku:

Makanan yang haram dalam Islam ada dua jenis:
1. Ada yang diharamkan karena dzatnya. Maksudnya asal dari makanan tersebut memang sudah haram, seperti: bangkai, darah, babi, anjing, khamar, dan selainnya.
2. Ada yang diharamkan karena suatu sebab yang tidak berhubungan dengan dzatnya. Maksudnya asal makanannya adalah halal, akan tetapi dia menjadi haram karena adanya sebab yang tidak berkaitan dengan makanan tersebut. Misalnya: makanan dari hasil mencuri, upah perzinahan, sesajen perdukunan, makanan yang disuguhkan dalam acara-acara yang bid’ah, dan lain sebagainya.

Satu hal yang sangat penting untuk diyakini oleh setiap muslim adalah bahwa apa-apa yang Allah telah halalkan berupa makanan, maka disitu ada kecukupan bagi mereka (manusia) untuk tidak mengkonsumsi makanan yang haram.
[Muqaddimah Al-Luqothot fima Yubahu wa Yuhramu minal Ath'imah wal Masyrubat dan muqaddimah Al-Ath'imah karya Al-Fauzan]

Sebelum kita menyebutkan satu persatu makanan dan minuman yang disebutkan dalam Al-Qur`an dan Sunnah beserta hukumnya masing-masing, maka untuk lebih membantu memahami pembahasan, kami dahului dengan beberapa pendahuluan.

Pendahuluan Pertama: Asal dari semua makanan adalah boleh dan halal sampai ada dalil yang menyatakan haramnya.Allah -Ta’ala- berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”. (QS. Al-Baqarah: 29)Ayat ini menunjukkan bahwa segala sesuatu -termasuk makanan- yang ada di bumi adalah nikmat dari Allah, maka ini menunjukkan bahwa hukum asalnya adalah halal dan boleh, karena Allah tidaklah memberikan nikmat kecuali yang halal dan baik.
Dalam ayat yang lain:
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya”. (QS. Al-An’am: 119)

Maka semua makanan yang tidak ada pengharamannya dalam syari’at berarti adalah halal .

Faidah:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Hukum asal padanya (makanan) adalah halal bagi seorang muslim yang beramal sholeh, karena Allah -Ta’ala- tidaklah menghalalkan yang baik-baik kecuali bagi siapa yang akan menggunakannya dalam ketaatan kepada-Nya, bukan dalam kemaksiatan kepada-Nya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ

“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh”. (QS. Al-Ma`idah: 93)

Karenanya tidak boleh menolong dengan sesuatu yang mubah jika akan digunakan untuk maksiat, seperti memberikan daging dan roti kepada orang yang akan minum-minum khamar atau akan menggunakannya dalam kejelekan” .

Pendahuluan Kedua: Manhaj Islam dalam penghalalan dan pengharaman makanan adalah “Islam menghalalkan semua makanan yang halal, suci, baik, dan tidak mengandung mudhorot, demikian pula sebaliknya Islam mengharamkan semua makanan yang haram, najis atau ternajisi, khobits (jelek), dan yang mengandung mudhorot”.Manhaj ini ditunjukkan dalam beberapa ayat, di antaranya:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi”. (QS. Al-Baqarah: 168)
Dan Allah mensifatkan Nabi Muhammad dalam firman-Nya:
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk”. (QS. Al-A’raf: 157)

Allah melarang melakukan apa saja -termasuk memakan makanan- yang bisa memudhorotkan diri, dalam firman-Nya:
وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”. (QS. Al-Baqarah: 195)
Juga sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain”.

Karenanya diharamkan mengkonsumsi semua makanan dan minuman yang bisa memudhorotkan diri -apalagi kalau sampai membunuh diri- baik dengan segera maupun dengan cara perlahan. Misalnya: racun, narkoba dengan semua jenis dan macamnya, rokok, dan yang sejenisnya.

Adapun makanan yang haram karena diperoleh dari cara yang haram, maka Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- telah bersabda:
إِنَّ دِمَائَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ
“Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, dan kehormatan-kehormatan kalian antara sesama kalian adalah haram”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)

Faidah:

1. Makna makanan yang najis adalah jelas, adapun makanan yang ternajisi, contohnya adalah mentega yang kejatuhan tikus. Hukumnya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Maimunah -radhiallahu ‘anha- bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- ditanya tentang lemak yang kejatuhan tikus, maka beliau bersabda:أُلْقُوْهَا, وَمَا حَوْلَهَا فَاطْرَحُوْهُ، وَكُلُوْا سَمَنَكُمْ
“Buanglah tikusnya dan buang juga lemak yang berada di sekitarnya lalu makanlah lemak kalian”. (HR. Al-Bukhary)Jadi jika yang kejatuhan najis adalah makanan padat, maka cara membersihkannya adalah dengan membuang najisnya dan makanan yang ada di sekitarnya, adapun sisanya boleh untuk dimakan. Akan tetapi jika yang kejatuhan najis adalah makanan yang berupa cairan, maka hukumnya dirinci; jika najis ini merubah salah satu dari tiga sifatnya (bau, rasa, dan warna) maka makanannya dihukumi najis sehingga tidak boleh dikonsumsi, demikian pula sebaliknya.
2. Makanan yang jelek (arab: khobits) ada dua jenis; yang jelek karena dzatnya -seperti: darah, bangkai, dan babi- dan yang jelek karena salah dalam memperolehnya -seperti: hasil riba dan perjudian-. Lihat Majmu’ Al-Fatawa (20/334).
3. Adapun ukuran kapan suatu makanan dianggap thoyyib (baik) atau khobits (jelek), maka hal ini dikembalikan kepada syari’at. Maka apa-apa yang dihalalkan oleh syari’at maka dia adalah thoyyib dan apa-apa yang diharamkan oleh syari’at maka dia adalah khabits, ini adalah madzhab Malikiyah dan yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana yang akan nampak dalam ucapan beliau.
Adapun jumhur ulama, mereka mengatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam penentuannya adalah orang-orang Arab, karena kepada merekalah asalnya diturunkan Al-Qur`an sehingga mereka yang secara langsung diajak bicara oleh syari’at. Lihat Hasyiyah Ibni ‘Abidin (5/194), Al-Majmu’ (9/25-26), dan Asy-Syarhul Kabir (11/64).
Hanya saja ini (pendapat jumhur) adalah pendapat yang kurang kuat, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam menjelaskan makna firman Allah -Ta’ala-:

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ
“Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik.”. (QS. Al-Maidah: 4)

Beliau berkata, “Seandainya makna “yang baik” di sini adalah apa yang dihalalkan, maka tentunya kalimat ini tidak ada faidahnya . Maka dari sini diketahuilah bahwa thoyyib dan khobits adalah sifat yang berada pada sebuah benda, dan bukan yang diinginkan dengannya (thoyyib) sekedar kelezatan dalam memakannya. Karena terkadang seorang manusia menikmati (merasa lezat) dengan apa yang membahayakan dirinya yang berupa racun , atau menikmati apa yang dilarang oleh dokter.

Dan bukan pula yang diinginkan darinya (thoyyib) dengan merasa nikmatnya sebagian bangsa -misalnya bangsa Arab- terhadap suatu makanan, dan bukan pula dianggap thoyyib karena keberadaannya sebagai makanan yang biasa dimakan (dinikmati) oleh orang-orang Arab. Hal itu karena, keberadaan suatu makanan biasa dimakan dan disenangi oleh sebagian bangsa atau sebaliknya mereka tidak menyukainya karena makanan itu tidak ada di negerinya, (semua ini) tidaklah mengharuskan Allah mengharamkan sebuah makanan kepada segenap kaum mu`minin dengan alasan mereka (sebagian bangsa) tidak terbiasa dengannya sebagaimana tidak mengharuskan Allah menghalalkan suatu makanan kepada segenap kaum mu`minin dengan alasan mereka (sebagian bangsa) terbiasa dengannya. Bagaimana tidak, padahal orang-orang Arab (dahulu) telah terbiasa (menyukai) dengan memakan darah, bangkai, dan selainnya padahal semuanya telah diharamkan oleh Allah -Ta’ala-. …. .

Demikian halnya Quraisy, mereka memakan yang khobits yang telah Allah haramkan dan sebaliknya mereka tidak menyukai makanan-makanan yang Allah tidak mengharamkannya”. -Lalu beliau membawakan hadits yang menunjukkan Nabi tidak makan biawak, bukan karena dia haram akan tetapi karena beliau tidak biasa memakannya -. “Maka dari sini jelaslah bahwa ketidaksukaan suku Quraisy dan selainnya (dari bangsa Arab) terhadap sebuah makanan tidaklah mengharuskan (baca: menunjukkan) pengharaman makanan tersebut atas segenap kaum mu`minin baik yang Arab maupun yang ajam (non-Arab). Dan juga sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabat beliau, tidak seorangpun di antara mereka yang mengharamkan makanan yang tidak disukai oleh orang Arab dan sebaliknya tidak pernah membolehkan apa yang (biasa) dimakan oleh orang Arab” .

Pendahuluan Ketiga: Makanan manusia secara umum ada dua jenis:
1. Selain hewan, terdiri dari tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, benda-benda (roti, kue dan sejenisnya), dan yang berupa cairan (air dengan semua bentuknya).
Ibnu Hubairah -rahimahullah- dalam Al-Ifshoh (2/453) menukil kesepakatan ulama akan halalnya jenis ini kecuali yang mengandung mudhorot.
2. Hewan, yang terdiri dari hewan darat dan hewan air.
Hewan darat juga terbagi menjadi dua;
a. Jinak, yaitu semua hewan yang hidup di sekitar manusia dan diberi makan oleh manusia, seperti: hewan ternak
b. Liar, yaitu semua hewan yang tinggal jauh dari manusia dan tidak diberi makan oleh manusia, baik dia buas maupun tidak. Seperti: singa, kelinci, ayam hutan, dan sejenisnya.
Hukum hewan darat dengan kedua bentuknya adalah halal kecuali yang diharamkan oleh syari’at , yang rinciannya insya Allah akan datang satu persatu.
Hewan air juga terbagi menjadi 2:

a. Hewan yang hidup di air yang jika dia keluar darinya akan segera mati, contohnya adalah ikan dan yang sejenisnya.
b. Hewan yang hidup di dua alam, seperti buaya dan kepiting .
Hukum hewan air bentuk yang pertama, -menurut pendapat yang paling kuat- adalah halal untuk dimakan secara mutlak. Ini adalah pendapat Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah, mereka berdalilkan dengan keumuman dalil dalam masalah ini, di antaranya adalah firman Allah -Ta’ala-:أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu” (QS. Al-Ma`idah: 96)
Adapun bangkainya maka ada rincian dalam hukumnya:

a. Jika dia mati dengan sebab yang jelas, misalnya: terkena lemparan batu, disetrum, dipukul, atau karena air surut, maka hukumnya adalah halal berdasarkan kesepakatan para ulama. Lihat Al-Mughny ma’a Asy-Syarhul Kabir (11/195)
b. Jika dia mati tanpa sebab yang jelas, hanya tiba-tiba diketemukan mengapung di atas air, maka dalam hukumnya ada perselisihan. Yang kuat adalah pendapat jumhur dari kalangan Imam Empat kecuali Imam Malik, mereka menyatakan bahwa hukumnya tetap halal. Mereka berdalilkan dengan keumuman sabda Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ, اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Dia (laut) adalah pensuci airnya dan halal bangkainya”. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzy, An-Nasa`iy, dan Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Imam Al-Bukhary). Lihat At-Talkhish (1/9)
[Al-Bidayah (1/345), Asy-Syarhul Kabir (2/115), Mughniyul Muhtaj (4/291), dan Al-Majmu' (9/32,33), Al-Mughny ma'a Asy-Syarhul Kabir (11/84,195]
Adapun bentuk yang kedua dari hewan air, yaitu hewan yang hidup di dua alam, maka pendapat yang paling kuat adalah pendapat Asy-Syafi’iyah yang menyatakan bahwa seluruh hewan yang hidup di dua alam -baik yang masih hidup maupun yang sudah jadi bangkai- seluruhnya adalah halal kecuali kodok. Dikecualikan darinya kodok karena ada hadits yang mengharamkannya . Lihat Al-Majmu’ (9/32-33)

Setelah memahami ketiga pendahuluan di atas, maka berikut penyebutan satu persatu makanan yang dibahas oleh para ulama beserta hukumnya masing-masing:

1. Bangkai
Bangkai adalah semua hewan yang mati tanpa penyembelihan yang syar’iy dan juga bukan hasil perburuan.
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menyatakan dalam firman-Nya:حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya”. (QS. Al-Ma`idah: 3)
Dan juga dalam firmannya:

وَلاَ تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan”. (QS. Al-An’am: 121)

Jenis-jenis bangkai berdasarkan ayat-ayat di atas:

1. Al-Munhaniqoh, yaitu hewan yang mati karena tercekik.
2. Al-Mauqudzah, yaitu hewan yang mati karena terkena pukulan keras.
3. Al-Mutaroddiyah, yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat yang tinggi.
4. An-Nathihah, yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya.
5. Hewan yang mati karena dimangsa oleh binatang buas.
6. Semua hewan yang mati tanpa penyembelihan, misalnya disetrum.
7. Semua hewan yang disembelih dengan sengaja tidak membaca basmalah.
8. Semua hewan yang disembelih untuk selain Allah walaupun dengan membaca basmalah.
9. Semua bagian tubuh hewan yang terpotong/terpisah dari tubuhnya. Hal ini berdasarkan hadits Abu Waqid secara marfu’:مَا قُطِعَ مِنَ الْبَهِيْمَةِ وَهِيَ حَيَّةٌ، فَهُوَ مَيْتَةٌ
“Apa-apa yang terpotong dari hewan dalam keadaan dia (hewan itu) masih hidup, maka potongan itu adalah bangkai”. (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzy dan dishohihkan olehnya)Diperkecualikan darinya 3 bangkai, ketiga bangkai ini halal dimakan:
1. Ikan, karena dia termasuk hewan air dan telah berlalu penjelasan bahwa semua hewan air adalah halal bangkainya kecuali kodok.
2. Belalang. Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar secara marfu’:أُحِلَّ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ، فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ: فَالسَّمَكُ وَالْجَرَادُ, وَأَمَّا الدَّمَانِ: فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
“Dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah. Adapun kedua bangkai itu adalah ikan dan belalang. Dan adapun kedua darah itu adalah hati dan limfa”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
3. Janin yang berada dalam perut hewan yang disembelih. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa`iy, bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:ذَكَاةُ الْجَنِيْنِ ذَكَاةُ أُمِّهِ
“Penyembelihan untuk janin adalah penyembelihan induknya”.
Maksudnya jika hewan yang disembelih sedang hamil, maka janin yang ada dalam perutnya halal untuk dimakan tanpa harus disembelih ulang.
[Al-Luqothot fima Yubahu wa Yuhramu minal Ath'imah wal Masyrubat point pertama]
2. Darah.
Yakni darah yang mengalir dan terpancar. Hal ini dijelaskan dalam surah Al-An’am ayat 145:أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا
“Atau darah yang mengalir”.
Dikecualikan darinya hati dan limfa sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ibnu ‘Umar yang baru berlalu. Juga dikecualikan darinya darah yang berada dalam urat-urat setelah penyembelihan.
3. Daging babi.
Telah berlalu dalilnya dalam surah Al-Ma`idah ayat ketiga di atas. Yang diinginkan dengan daging babi adalah mencakup seluruh bagian-bagian tubuhnya termasuk lemaknya.
4. Khamr.
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”. (QS. Al-Ma`idah: 90)
Dan dalam hadits riwayat Muslim dari Ibnu ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma- secara marfu’:
كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ، وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ
“Semua yang memabukkan adalah haram, dan semua khamar adalah haram”.
Dikiaskan dengannya semua makanan dan minuman yang bisa menyebabkan hilangnya akal (mabuk), misalnya narkoba dengan seluruh jenis dan macamnya.

5. Semua hewan buas yang bertaring.Sahabat Abu Tsa’labah Al-Khusyany -radhiallahu ‘anhu- berkata:
أَنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ
“Sesungguhnya Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang dari (mengkonsumsi) semua hewan buas yang bertaring”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)Dan dalam riwayat Muslim darinya dengan lafazh, “Semua hewan buas yang bertaring maka memakannya adalah haram”.
Yang diinginkan di sini adalah semua hewan buas yang bertaring dan menggunakan taringnya untuk menghadapi dan memangsa manusia dan hewan lainnya. Lihat Al-Ifshoh (1/457) dan I’lamul Muwaqqi’in (2/117).
Jumhur ulama berpendapat haramnya berlandaskan hadits di atas dan hadits-hadits lain yang semakna dengannya.
[Asy-Syarhul Kabir (11/66), Mughniyul Muhtaj (4/300), dan Syarh Tanwiril Abshor ma'a Hasyiyati Ibnu 'Abidin (5/193)]
6. Semua burung yang memiliki cakar.
Yang diinginkan dengannya adalah semua burung yang memiliki cakar yang kuat yang dia memangsa dengannya, seperti: elang dan rajawali. Jumhur ulama dari kalangan Imam Empat -kecuali Imam Malik- dan selainnya menyatakan pengharamannya berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas -radhiallahu ‘anhuma-:نَهَى عَنْ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ، وَكُلُّ ذِيْ مَخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ
“Beliau (Nabi) melarang untuk memakan semua hewan buas yang bertaring dan semua burung yang memiliki cakar”. (HR. Muslim)
[Al-Majmu' (9/22), Al-Muqni' (3/526,527), dan Takmilah Fathil Qodir (9/499)]
7. Jallalah.
Dia adalah hewan pemakan feses (kotoran) manusia atau hewan lain, baik berupa onta, sapi, dan kambing, maupun yang berupa burung, seperti: garuda, angsa (yang memakan feses), ayam (pemakan feses), dan sebagian gagak. Lihat Nailul Author (8/128).
Hukumnya adalah haram. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad -dalam satu riwayat- dan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Syafi’iyah, mereka berdalilkan dengan hadits Ibnu ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma- beliau berkata:نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنْ أَكْلِ الْجَلاَّلَةِ وَأَلْبَانِهَا
“Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang dari memakan al-jallalah dan dari meminum susunya”. (HR. Imam Lima kecuali An-Nasa`iy (3787))
Beberapa masalah yang berkaitan dengan jallalah:

1. Tidak semua hewan yang memakan feses masuk dalam kategori jallalah yang diharamkan, akan tetapi yang diharamkan hanyalah hewan yang kebanyakan makanannya adalah feses dan jarang memakan selainnya. Dikecualikan juga semua hewan air pemakan feses, karena telah berlalu bahwa semua hewan air adalah halal dimakan. Lihat Hasyiyatul Al-Muqni’ (3/529).
2. Jika jallalah ini dibiarkan sementara waktu hingga isi perutnya bersih dari feses maka tidak apa-apa memakannya ketika itu. Hanya saja mereka berselisih pendapat mengenai berapa lamanya dia dibiarkan, dan yang benarnya dikembalikan kepada ukuran adat kebiasaan atau kepada sangkaan besar. Lihat Al-Majmu’ (9/28).
[Al-Muqni' (3/527,529), Mughniyul Muhtaj (4/304), dan Takmilah Fathil Qodir (9/499-500)]
8. Keledai jinak (bukan yang liar).
Ini merupakan madzhab Imam Empat kecuali Imam Malik dalam sebagian riwayat darinya. Dari Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-, bahwasanya Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:إِنَّ الله ورسوله يَنْهَيَاكُمْ عَنْ لُحُوْمِ ِالْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ, فَإِنَّهَا رِجْسٌ
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian untuk memakan daging-daging keledai yang jinak, karena dia adalah najis”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Diperkecualikan darinya keledai liar, karena Jabir -radhiallahu ‘anhu- berkata:

أَكَلْنَا زَمَنَ خَيْبَرٍ اَلْخَيْلَ وَحُمُرَ الْوَحْشِ ، وَنَهَانَا النبي صلى الله عليه وسلم عَنِ الْحِمَارِ الْأَهْلِيْ
“Saat (perang) Khaibar, kami memakan kuda dan keledai liar, dan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang kami dari keledai jinak”. (HR. Muslim)

Inilah pendapat yang paling kuat, sampai-sampai Imam Ibnu ‘Abdil Barr menyatakan, “Tidak ada perselisihan di kalangan ulama zaman ini tentang pengharamannya”. Lihat Al-Mughny beserta Asy-Syarhul Kabir (11/65).
[Al-Bada`i' (5/37), Mughniyul Muhtaj (4/299), Al-Muqni' (3/525), dan Al-Bidayah (1/344].

9. Kuda.
Telah berlalu dalam hadits Jabir bahwasanya mereka memakan kuda saat perang Khaibar. Semakna dengannya ucapan Asma` bintu Abi Bakr -radhiallahu ‘anhuma-:نَحَرْنَا فَرَسًا عَلَى عَهْدِ رسول الله صلى الله عليه وسلم فَأَكَلْنَاهُ
“Kami menyembelih kuda di zaman Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu kamipun memakannya”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Maka ini adalah sunnah taqririyyah (persetujuan) dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-.
Ini adalah pendapat jumhur ulama dari kalangan Asy-Syafi’iyyah, Al-Hanabilah, salah satu pendapat dalam madzhab Malikiyah, serta merupakan pendapat Muhammad ibnul Hasan dan Abu Yusuf dari kalangan Hanafiyah. Dan ini yang dikuatkan oleh Imam Ath-Thohawy sebagaimana dalam Fathul Bary (9/650) dan Imam Ibnu Rusyd dalam Al-Bidayah (1/3440).
[Mughniyul Muhtaj (4/291-291), Al-Muqni' beserta hasyiyahnya (3/528), Al-Bada`i' (5/18), dan Asy-Syarhus Shoghir (2/185)]

10. Baghol.
Dia adalah hewan hasil peranakan antara kuda dan keledai. Jabir -radhiallahu ‘anhuma- berkata:حَرَّمَ رسول الله صلى الله عليه وسلم – يَعْنِي يَوْمَ خَيْبَرٍٍ – لُحُوْمَ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ، وَلُحُوْمَ الْبِغَالِ
“Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengharamkan -yakni saat perang Khaibar- daging keledai jinak dan daging baghol. (HR. Ahmad dan At-Tirmidzy)
Dan ini (haram) adalah hukum untuk semua hewan hasil peranakan antara hewan yang halal dimakan dengan yang haram dimakan.
[Al-Majmu' (9/27), Ays-Syarhul Kabir (11/75), dan Majmu' Al-Fatawa (35/208)].

11. Anjing.
Para ulama sepakat akan haramnya memakan anjing, di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwa anjing termasuk dari hewan buas yang bertaring yang telah berlalu pengharamannya. Dan telah tsabit dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda:إِنَّ الله إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu maka Dia akan mengharamkan harganya “.
Dan telah tsabit dalam hadits Abu Mas’ud Al-Anshory riwayat Al-Bukhary dan Muslim dan juga dari hadits Jabir riwayat Muslim akan haramnya memperjualbelikan anjing.
[Al-Luqothot point ke-12]

12. Kucing baik yang jinak maupun yang liar.
Jumhur ulama menyatakan haramnya memakan kucing karena dia termasuk hewan yang bertaring dan memangsa dengan taringnya. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Syaikh Al-Fauzan. Dan juga telah warid dalam hadits Jabir riwayat Imam Muslim akan larangan meperjualbelikan kucing, sehingga hal ini menunjukkan haramnya.
[Al-Majmu' (9/8) dan Hasyiyah Ibni 'Abidin (5/194)]
13. Monyet.
Ini merupakan madzhab Syafi’iyah dan merupakan pendapat dari ‘Atho`, ‘Ikrimah, Mujahid, Makhul, dan Al-Hasan. Imam Ibnu Hazm menyatakan, “Dan monyet adalah haram, karena Allah -Ta’ala- telah merubah sekelompok manusia yang bermaksiat (Yahudi) menjadi babi dan monyet sebagai hukuman atas mereka. Dan setiap orang yang masih mempunyai panca indra yang bersih tentunya bisa memastikan bahwa Allah -Ta’ala- tidaklah merubah bentuk (suatu kaum) sebagai hukuman (kepada mereka) menjadi bentuk yang baik dari hewan, maka jelaslah bahwa monyet tidak termasuk ke dalam hewan-hewan yang baik sehingga secara otomatis dia tergolong hewan yang khobits (jelek)” .
[Al-Luqothot point ke-13]
14. Gajah.
Madzhab jumhur ulama menyatakan bahwa dia termasuk ke dalam kategori hewan buas yang bertaring. Dan inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu ‘Abdil Barr, Al-Qurthuby, Ibnu Qudamah, dan Imam An-Nawawy -rahimahumullah-.
[Al-Luqothot point ke-14]
15. Musang (arab: tsa’lab)
Halal, karena walaupun bertaring hanya saja dia tidak mempertakuti dan memangsa manusia atau hewan lainnya dengan taringnya dan dia juga termasuk dari hewan yang baik (arab: thoyyib). Ini merupakan madzhab Malikiyah, Asy-Syafi’iyah, dan salah satu dari dua riwayat dari Imam Ahmad.
[Mughniyul Muhtaj (4/299), Al-Muqni' (3/528), dan Asy-Syarhul Kabir (11/67)]
16. Hyena/kucing padang pasir (arab: Dhib’un)
Pendapat yang paling kuat di kalangan ulama -dan ini merupakan pendapat Imam Asy-Syafi’iy dan Imam Ahmad- adalah halal dan bolehnya memakan daging hyena. Hal ini berdasarkan hadits ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah bin Abi ‘Ammar, beliau berkata, “Saya bertanya kepada Jabir, “apakah hyena termasuk hewan buruan?”, beliau menjawab, “iya”. Saya bertanya lagi, “apakah boleh memakannya?”, beliau menjawab, “boleh”. Saya kembali bertanya, “apakah pembolehan ini telah diucapkan oleh Rasulullah?”, beliau menjawab, “iya”“. Diriwayatkan oleh Imam Lima dan dishohihkan oleh Al-Bukhary, At-Tirmidzy dan selainnya. Lihat Talkhishul Khabir (4/152).Pendapat ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (9/568) dan Imam Asy-Syaukany.
Adapun jika ada yang menyatakan bahwa hyena adalah termasuk hewan buas yang bertaring, maka kita jawab bahwa hadits Jabir di atas lebih khusus daripada hadits yang mengharamkan hewan buas yang bertaring sehingga hadits yang bersifat khusus lebih didahulukan. Atau dengan kata lain hyena diperkecualikan dari pengharaman hewan buas yang bertaring. Lihat Nailul Author (8/127) dan I’lamul Muwaqqi’in (2/117).
[Mughniyul Muhtaj (4/299) dan Al-Muqni' (3/52)]
17. Kelinci.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dan Imam Muslim dari Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-:أَنَّهُ صلى الله عليه وسلم أُهْدِيَ لَهُ عَضْوٌ مِنْ أَرْنَبٍ، فَقَبِلَهُ
“Sesungguhnya beliau (Nabi) -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah diberikan hadiah berupa potongan daging kelinci, maka beliaupun menerimanya”.
Imam Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughny, “Kami tidak mengetahui ada seorangpun yang mengatakan haramnya (kelinci) kecuali sesuatu yang diriwayatkan dari ‘Amr ibnul ‘Ash”.
[Al-Luqothot point ke-16]

18. Belalang.
Telah berlalu dalam hadits Ibnu ‘Umar bahwa bangkai belalang termasuk yang diperkecualikan dari bangkai yang diharamkan. Hal ini juga ditunjukkan oleh perkataan Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-:غَزَوْنََا مَعَ رسول الله صلى الله عليه وسلم سَبْعَ غَزَوَاتٍ نَأْكُلُ الْجَرَادَ
“Kami berperang bersama Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sebanyak 7 peperangan sedang kami hanya memakan belalang”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
[Al-Luqothot point ke-17]
19. Kadal padang pasir (arab: dhobbun).
Pendapat yang paling kuat yang merupakan madzhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah bahwa dhabb adalah halal dimakan, hal ini berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang biawak gurun:كُلُوْا وَأَطْعِمُوْا فَإِنَّهُ حَلاَلٌ
“Makanlah dan berikanlah makan dengannya (dhabb) karena sesungguhnya dia adalah halal”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim dari hadits Ibnu ‘Umar)
Adapun keengganan Nabi untuk memakannya, hanyalah dikarenakan dhabb bukanlah makanan beliau, yakni beliau tidak biasa memakannya. Hal ini sebagaimana yang beliau khabarkan sendiri dalam sabdanya:

لاَ بَأْسَ بِهِ، وَلَكِنَّهُ لَيْسَ مِنْ طَعَامِي
“Tidak apa-apa, hanya saja dia bukanlah makananku”.

Ini yang dikuatkan oleh Imam An-Nawawy dalam Syarh Muslim (13/97).
[Mughniyul Muhtaj (4/299) dan Al-Muqni' (3/529)]

20. Landak.
Syaikh Al-Fauzan menguatkan pendapat Asy-Syafi’iyyah akan boleh dan halalnya karena tidak ada satupun dalil yang menyatakan haram dan khobitsnya. Lihat Al-Majmu’ (9/10).
21. Ash-shurod, kodok, semut, burung hud-hud, dan lebah.
Kelima hewan ini haram dimakan, berdasarkan hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata:نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنْ قَتْلِ الصُّرَدِ وَالضِّفْدَعِ وَالنَّمْلَةِ وَالْهُدْهُدِ
“Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang membunuh shurod, kodok, semut, dan hud-hud. (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shohih).
Adapun larangan membunuh lebah, warid dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud.
Dan semua hewan yang haram dibunuh maka memakannyapun haram. Karena tidak mungkin seeokor binatang bisa dimakan kecuali setelah dibunuh.
[Al-Luqothot point ke-19 s/d 23]

22. Yarbu’.
Halal. Ini merupakan madzhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, dan merupakan pendapat ‘Urwah, ‘Atho` Al-Khurosany, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir, karena asal dari segala sesuatu adalah halal, dan tidak ada satupun dalil yang menyatakan haramnya yarbu’ ini. Inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny (11/71).
[Hasyiyatul Muqni' (3/528) dan Mughniyul Muhtaj (4/299)]
23. Kalajengking, ular, gagak, tikus, tokek, dan cicak.
Karena semua hewan yang diperintahkan untuk dibunuh tanpa melalui proses penyembelihan adalah haram dimakan, karena seandainya hewan-hewan tersebut halal untuk dimakan maka tentunya Nabi tidak akan mengizinkan untuk membunuhnya kecuali lewat proses penyembelihan yang syar’iy.
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فَي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: اَلْحَيَّةُ وَالْغُرَابُ الْاَبْقَعُ وَالْفَأْرَةُ وَالٍْكَلْبُ وَالْحُدَيَّا
“Ada lima (binatang) yang fasik (jelek) yang boleh dibunuh baik dia berada di daerah halal (selain Mekkah) maupun yang haram (Mekkah): Ular, gagak yang belang, tikus, anjing, dan rajawali (HR. Muslim)
Adapun tokek dan -wallahu a’lam- diikutkan juga kepadanya cicak, maka telah warid dari hadits Abu Hurairah riwayat Imam Muslim tentang anjuran membunuh wazag (tokek).
[Bidayatul Mujtahid (1/344) dan Tafsir Asy-Syinqithy (1/273)]

24. Kura-kura (arab: salhafat), anjing laut, dan kepiting (arab: sarthon).
Telah berlalu penjelasannya pada pendahuluan yang ketiga bahwa ketiga hewan ini adalah halal dimakan.
[Al-Luqothot point ke-28 s/d 30]
25. Siput (arab: halazun) darat, serangga kecil, dan kelelawar.
Imam Ibnu Hazm menyatakan, “Tidak halal memakan siput darat, juga tidak halal memakan seseuatupun dari jenis serangga, seperti: tokek (masuk juga cicak), kumbang, semut, lebah, lalat, cacing, kutu, nyamuk dan yang sejenis dengan mereka, berdasarkan firman Allah -Ta’ala-, “Diharamkan untuk kalian bangkai”, dan firman Allah -Ta’ala-, “Kecuali yang kalian sembelih”. Dan telah jelas dalil yang menunjukkan bahwa penyembelihan pada hewan yang bisa dikuasai/dijinakkan, tidaklah teranggap secara syar’iy kecuali jika dilakukan pada tenggorokan atau dadanya. Maka semua hewan yang tidak ada cara untuk bisa menyembelihnya, maka tidak ada cara/jalan untuk memakannya, sehingga hukumnya adalah haram karena tidak bisa dimakan, kecuali bangkai yang tidak disembelih” .
[Al-Luqothot point ke-31 s/d 34]
Inilah secara ringkas penyebutan beberapa kaidah dalam masalah penghalalan dan pengharaman makanan beserta contoh-contohnya semoga bisa bermanfaat. Penyebutan makanan sampai point ke-25 di atas bukanlah dimaksudkan untuk membatasi bahwa makanan yang haram jumlahnya hanya sekitar itu, akan tetapi yang kami inginkan dengannya hanyalah menjelaskan kaidah umum dalam masalah ini yang bisa dijadikan sebagai tolak ukur dalam menghukumi hewan-hewan lain yang tidak sempat kami sebutkan.
Adapun makanan selain hewan dan juga minuman, maka hukumnya telah kami terangkan secara global dalam pendahuluan-pendahuluan di awal pembahasan, yang mana pendahuluan-pendahuluan ini adalah semacam kaidah untuk menghukumi semuanya.

Jika kita sudah faham akan halal/haramnya suatu makanan..baiknya, kita cermati fenomena yang ada di sekitar kita. Banyaknya produk2 yang belum jelas kehalalannya dan jika itu halal-pun, apakah ada manfaatnya atau tidak atau bahkan cenderung berbahaya.sebagai contoh, kita harus memperhatikan hal2 berikut, apakah makanan itu:

* Mengandung Zat additif yang beracun dalam jangka pendek maupun jangka panjang ,misalnya : Borak,formalin,dll
* Mengandung bahan halal namun dalam jumlah yang berlebihan sehingga dapat menggangu kesehatan ,misalnya minuman kesehatan yang mengandung kadar caffein yang tinggi, mengandung kadar gula yang Tinggi
dll
* Makanan atau minuman yang tidak di ketahui kandungan bahannya karena ini bisa jadi mengandung bahan yang tidak halal atau subhat
* Makanan dan minuman yang dibuat oleh orang yang berpeyakit menular .
* Makanan dan minuman yang meyebabkan ketergantungan
* Makanan dan minuman yang halal namun mengandung zat yang menggangu kesehatan orang yang akan memakannya, misalnya gula bagi penderita kencing manis , lemak bagi penderita hipercholestrolemia dan
lain-lain, yang menurut dokter /tabib tidak boleh dinikmati oleh orang tersebut .

lebih waspada atas berbagai produk yang menyebar di sekeliling kita, berikut beberapa tipsnya:

untuk mengetahui kehalalan makanan terutama melalui kemasan, adalah dengan memperhatikan nomor registrasi dan label halal yang ada di kemasan. Jika ada nomor registrasi (diawali) dengan huruf MD untuk produk dalam negeri buatan industri menengah besar, SP untuk industri kecil dalam negeri dan ML untuk produk impor. Selanjutnya dilihat label halalnya, jika keduanya ada (nomor registrasi dan label halal) maka produk tersebut sudah dijamin kehalalannya oleh yang berwenang, yaitu LPPOM MUI dan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan).

kemudian,dengan melihat ke database produk halal yang ada di www.indohalal.com atau dapat pula dilihat di Jurnal Halal terbitan LPPOM MUI Pusat.

PLUS..tidak berlebih-lebihan dalam kapasitas memenuhi kebutuhan hidup, need balancing.
Tidak kurang atau lebih, itu juga perlu diperhatikan. Segala sesuatu yang berlebih2an juga akan berakibat tidak Thoyyib.

يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid , makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan . Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.(QS Al A'raf :31).


Dalam hadits riwayat Bukhari:

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ ابْنِ عَوْنٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ و حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ حَدَّثَنَا أَبُو فَرْوَةَ عَنْ الشَّعْبِيِّ قَالَ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ و حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ أَبِي فَرْوَةَ سَمِعْتُ الشَّعْبِيَّ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي فَرْوَةَ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُورٌ مُشْتَبِهَةٌ فَمَنْ تَرَكَ مَا شُبِّهَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ كَانَ لِمَا اسْتَبَانَ أَتْرَكَ وَمَنْ اجْتَرَأَ عَلَى مَا يَشُكُّ فِيهِ مِنْ الْإِثْمِ أَوْشَكَ أَنْ يُوَاقِعَ مَا اسْتَبَانَ وَالْمَعَاصِي حِمَى اللَّهِ مَنْ يَرْتَعْ حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ
Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Al Mutsanna] telah menceritakan kepada kami [Ibnu Abu 'Adiy] dari [Ibnu 'Aun] dari [Asy-Sa'biy] aku mendengar [An-Nu'man bin Basyir radliallahu 'anhuma] aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan diriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami ['Ali bin 'Abdullah] telah menceritakan kepada kami [Ibnu 'Uyainah] telah menceritakan kepada kami [Abu Farwah] dari [Asy-Sa'biy] berkata, aku mendengar [An-Nu'man bin Basyir] telah menceritakan kepada kami berkata, aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan diriwayatkan pula ['Abdullah bin Muhammad] dari [Ibnu 'Uyainah] dari [Abu Farwah] aku mendengar [Asy-Sa'biy] aku mendengar [An-Nu'man bin Basyir radliallahu 'anhuma] dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Katsir] telah mengabarkan kepada kami [Sufyan] dari [Abu Farwah] dari [Asy-Sa'biy] dari [An-Nu'man bin Basyir radliallahu 'anhu] berkata, telah bersabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Namun diantara keduanya ada perkara yang syubhat (samar). Maka barangsiapa yang meninggalkan perkara yang samar karena khawatir mendapat dosa, berarti dia telah meninggalkan perkara yang jelas keharamannya dan siapa yang banyak berdekatan dengan perkara samar maka dikhawatirkan dia akan jatuh pada perbuatan yang haram tersebut. Maksiat adalah larangan-larangan Allah. Maka siapa yang berada di dekat larangan Allah itu dikhawatirkan dia akan jatuh pada larangan tersebut".

Orang yang terus menerus melakukan syubhat, bukan tidak mungkin ia akan terjerumus kedalam HARAM. Keragu-raguan/samar, baiknya kita hindari. Karena siapa saja yang menjaga diri dari syubhat ini, ia telah menjauhkan diri dalam rangka kebersihan jiwanya.

na'udzubillah min dzalik ... jagalah diri dari segala yang haram, syubhat atas apa2 yang masuk ke tubuh kita, karena..dari makanan bisa berkaitan dengan amal sholih kita.

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saIeh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(AlMukminun:51)

Tentunya, kita tidak mau, karena ketidak pedulian ttg halal dan thoyib makanan kita, menjadi penghalang do'a2 kita. karena Allah hanya menerima yang baik2 dari usaha hamba-hamba-Nya (Imam muslim).

Semoga Allah beri kemudahan dan selalu menjaga kita dari hal-hal yang tidak disukai-Nya.
Amiin ya Rabbal 'Alamin..


SEMOGA BERMANFAAT..barokallahu fik...






Read More......

Monday, November 22, 2010

Diri yang Bahagia

Kebahagiaan tidak hadir hanya dengan menginginkannya, tidak hadir hanya dengan memeluk prinsip-prinsipnya, harus ada usaha serius lagi teguh dalam berpegang kepada prinsip-prinsipnya secara terus menerus tiada henti, berjalan di atas relnya, merealisasikan syarat-syaratnya.


Apabila kita melihat pengertian bahagia menurut manusia, maka kita melihat mereka berbeda pendapat tentang apa itu bahagia? Perbedaan mereka di bidang ini besar, masing-masing dengan pandangan dan pertimbangannya. Akan sangat melelahkan jika semua itu kita paparkan. Penulis merasa cukup membatasi pada pengertian yang merupakan hasil dari pengamatan dan perasaan sendiri. Sah-sah saja kalau Anda, pembaca, tidak setuju. Silakan, ma fi musykilah. Bahagia adalah perasaan bangga, tenang, tenteram dan gembira secara terus menerus.

Bahagia dimulai saat seseorang merasakan kebaikan diri, saat dia meyakini bahwa dirinya mempunyai kebaikan yang pertama kali untuk dirinya sendiri, lalu orang-orang dekatnya dan selanjutnya lingkungan dan masyarakatnya.

Diperlukan beberapa syarat dalam rangka mewujudkan kebaikan diri, di antaranya adalah:

Pertama: Hendaknya niat dan seluruh tujuan seseorang dalam seluruh hidupnya adalah kebaikan, karena siapa yang berniat buruk atau menginginkan keburukan maka tidak mungkin dia dihampiri perasaan bahwa dia adalah orang baik, kemudian niat buruk ini tidak hanya memperkeruh jernihnya kehidupan jiwa dan batinnya semata, lebih dari itu ia juga berpengaruh terhadap kehidupan riil, lahir batin. Inilah yang ditetapkan oleh ilmu modern. Para ahli berkata, agar kita bisa menjamin untuk diri kita perangkat emosi yang lurus dan jasmani yang sehat dan selamat kita wajib melatih pikiran kita di atas pemikiran-pemikiran yang baik lagi bebas dari dosa karena pemikiran buruk lagi kotor melemahkan akal, merusaknya dan membuatnya gila.

Kedua: Menahan diri dari segala keburukan dan kerendahan akhlak. Jika sekedar ingin melakukan keburukan memberi pengaruh yang demikian maka melakukan keburukan dan kerendahan lebih buruk dan lebih pahit.

Oleh karena itu kita melihat ahli hikmah dan ahli ilmu jiwa selalu mewasiatkan agar seseorang menjauhi segala keburukan dan kerendahan jika dia ingin membebaskan dirinya dari penyakit-penyakit jiwa yang mengakibatkan siksa perasaan yang dirasakan oleh seseorang akibat dia melakukan keburukan. Seseorang menjadi sengsara karena dia melakukan keburukan, karena keburukan tersebut akan selalu menghantuinya dan menjadi bayangannya, sehingga pikiran dan hatinya sibuk olehnya dan menjadi sengsara karenanya.

Kebaikan tidak akan pernah usang, dosa tidak akan pernah dilupakan, pemilik balasan tidak mati. Jadilah apa yang kamu ingin, sebagaimana kamu berbuat kamu dibalas, kebaikan menghadirkan ketenangan dan keburukan menyeret kesengsaraan.

Ketiga: Melakukan kebaikan dengan niat yang baik. Perasaan terhadap kebaikan diri tidak hadir kecuali jika seseorang melakukan kebaikan pertama kali dan dengan niat baik. Sekedar melakukan kebaikan belum memadahi, harus ditambah dengan dorongan dan tendensi kebaikan pula dalam melaksanakannya. Hati seseorang tidak mungkin berkata kepadanya dari dalam lubuknya, “Kamu adalah orang baik jika kamu melakukan kebaikan dengan niat buruk atau karena mencari muka atau untuk mencari tujuan dunia.”

Oleh karena itu Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu dengan niat –dalam riwayat lain dengan niat-niat-, dan sesungguhnya masing-masing orang mendapatkan apa yang diniatkannya.” Ini artinya niat baik diperlukan dalam melakukan kebaikan, bila seseorang mendapatkan apa yang diniatkannya dari sesuatu yang dilakukannya, maka bila niatnya adalah kebaikan maka dia akan mendapatkannya dan begitu pula sebaliknya.

Lebih dari itu Allah akan memberi taufik kepada orang-orang yang berbuat baik dengan niat baik dalam menegakkan kehidupan yang baik dan memudahkan perkara mereka padanya.

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (An-Nahl: 97).

“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (Al-Lail: 5-10). Wallahu a’lam.

Sumber: artikel keluarga sakinah

Read More......

Tuesday, November 16, 2010

Kekuatan Sebuah Janji..



Ketika kita berjanji untuk lebih menguasai diri... itu baik,
Ketika kita menepati janji itu saat menghadapi berbagai ujian dan pencobaan...
itu jauh lebih baik.


Ketika kita berjanji untuk lebih lembut lagi dalam berkata-kata... itu baik,
Ketika kita menepati janji itu saat harus menjawab kata-kata makian yang pedas...
itu jauh lebih baik.


Ketika kita berjanji untuk setia sehidup semati hingga maut memisahkan kita... itu baik,
Ketika kita menepati janji itu saat badai rumah tangga dan kejenuhan rutinitas melanda....
itu jauh lebih baik.

Ketika kita berjanji untuk berbuat kebaikan lebih lagi di sepanjang hidup kita... itu baik,
Ketika kita menepati janji itu saat keadaan dan orang-orang di sekitar kita semakin jahat...
itu jauh lebih baik.

Ketika kita berjanji untuk bermurah hati dan banyak memberi... itu baik,
Ketika kita menepati janji itu saat kita kekurangan namun sekitar kita lebih membutuhkan...
itu jauh lebih baik.

Ketika kita berjanji untuk lebih bersabar... itu baik,
Ketika kita menepati janji itu saat menghadapi orang-orang yang begitu menyebalkan...
itu jauh lebih baik.

Ketika kita berjanji untuk memilih kedamaian ketimbang kekuatiran... itu baik,
Ketika kita menepati janji itu saat menghadapi berbagai masalah hidup yang kian merisaukan...
itu jauh lebih baik.

Ketika kita berjanji untuk lebih bersukacita... itu baik,
Ketika kita menepati janji itu saat beban kehidupan dan berbagai penderitaan begitu menekan...
itu jauh lebih baik.

Ketika kita berjanji untuk memiliki kasih lebih lagi kepada sesama... itu baik,
Ketika kita menepati janji itu kepada mereka yang justru membenci dan memusuhi kita...
itu jauh lebih baik.

Kekuatan sebuah JANJI adalah pada saat janji itu DITEPATI, bukan pada saat diucapkan...
itu jauh lebih baik.


by Sya'ban Ahmad

Read More......

Friday, November 12, 2010

Kabar Gembira bagi Orang yang Mengakui Dosa

Di antara kaum shalih ada yang bertutur, "Di samping rumahku hidup seorang nenek dengan seorang anak lelaki yang nampak memaksakan diri untuk beribadah.


Ketika ajal menghampiri anak lelaki tersebut, ia berkata, 'Wahai ibu, telungkupkanlah pipiku di atas tanah.' Lalu sang ibu melakukannya. Kemudian anak lelaki itu menangis dan menghiba diri.


Ketika ia benar-benar di ambang kematian, ia berkata, 'Wahai ibu, Demi Allah, sekiranya aku mati, janganlah ibu memberitahu seorang pun tentang kematianku. Kuburkanlah aku di salah satu pojok rumah ini saja, sebab selama ini aku senantiasa menyakiti tetanggaku yang masih hidup sementara aku tidak ingin menyakiti tetanggaku yang telah mati.' Maka sang ibu melakukan apa yang diperintahkan anak kepada ibunya, dan ia pun dikuburkan di pojok rumahnya.

Pada suatu malam, sang ibu memimpikan anaknya, ia berada di salah satu taman yang sangat indah, di sebuah istana megah, di antara kedua matanya terdapat tulisan dari cahaya, berbunyi, 'Inilah seorang hamba Allah yang mengakui dosanya lalu bertaubat.' Sang ibu berkata, 'Berhentilah nak,' sang ibu melanjutkan bertanya, 'Wahai anakku, Mengapa engkau dapat memperoleh posisi setinggi ini?'

Sang anak menjawab, 'Wahai Ibu, ketika aku telah meninggal, Dzat Yang Mahabenar memanggilku di hadapanNya dan berfirman kepadaku, 'Wahai hambaKu, sikapmu untuk menjauhi manusia sebenarnya membuat mereka marah kepadamu, sehingga mereka menutup pintu kasih sayang untukmu. Seakan ampunanKu penuh sesak oleh dosa-dosamu, seakan gudang kekuasaanKu memerlukan amal kebaikan darimu. Namun Aku telah memberi rahmat kepadamu karena rasa butuhmu terhadap ampunan dariKu, karena sikap penghamba-anmu kepadaKu dan kekhusyu’anmu, silahkan melangkah, Aku telah mengampuni dosamu'." (Al-Mawa’izh wa Al-Majalis, 235.)


Diposting oleh: Abu Thalhah Andri Abdul Halim, dinukil dari, “99 Kisah Orang Shalih”

Read More......

Thursday, November 11, 2010

SI PENJUAL MINYAK WANGI (Perumpamaan bagi Sahabat Sejati)


Ada orang yang berkata kepada Abdullah bin Umar:
Si Fulan Al-Anshari meninggal dunia. Beliau berkata : “Semoga Allah merahmatinya.”
Mereka berkata: “Ia meninggalkan uang seratus ribu.”
Beliau berkata:”Tetapi uang itu tidak meninggalkannya.”
Ia tertimpa kondisi perekonomian yang sempit sekali.
Kondisinya menjadi amat buruk, harta bendanya menipis, dan teman-temannya pergi menjauhi…


Ia teringat, bahwa semenjak sepuluh tahun yang lalu ia mengajukan pengunduran diri dari pekerjaannya, dan beralih ke usaha bebas. Kondisinya otomatis berubah setelah pengunduran diri… hartanya berlimpah. Ia pindah ke sebuah villa besar, menikah dengan istri kedua. Bepergian kesana kemari, tak terhitung jumlahnya. Ia tenggelam dalam kesenangan dan kemaksiatan, tanpa batas. Saat terdengar adzan, sementara letak masjid hanya beberapa meter dari kantornya, ia tidak mau pergi untuk shalat. Bahkan dalam waktu yang lama sekali, ia tidak pernah bersujud. Ia sibuk sekali, sehingga tidak punya waktu untuk itu.

Di rumah, ia tak ubahnya seekor binatang. Makan, minum dan tidur. Bahkan mendidik anak saja ia tidak sempat. Tidak pernah ia bertanya kepada anaknya, apakah mereka mengenal shalat atau tidak. Dalam soal harta, baginya tidak ada bedanya antara halal dengan haram. Cara baginya bukan masalah penting, yang penting adalah hasil. Itu adalah kaidahnya dalam berbisnis. 


Akan tetapi kira-kira dua tahun yang lalu, urusan perekonomiannya memburuk. Ia berusaha melakukan tindakan yang mustahil, untuk tetap menjaga pekerjaan dan keuntungan-keuntungannya si masa lalu. Oleh sebab itu pekerjaannya mulai mengalami kesimpangsiuran. Bagaikan orang tenggelam yang berusaha mencari keselamatan. 

Mulailah mereka yang mencari keuntungan cepat mempropagandakan kepadanya proyek-proyek tertentu. Satu proyek gagal, tidak berhasil. Proyek yang lain hanya menghasilkan setengah dari modal. Dalam waktu dua tahun saja, sudah banyak hutangnya dan bertumpuk permasalahannya. Ia teringat bagaimana keadaannya dahulu sebelum berhenti bekerja. Sekarang pengeluarannya menggurita, sementara masukannya sedikit. Ia mulai mengambil hutang di berbagai bank. 

Hanya dalam waktu satu tahun saja, hutangnya sudah bertumpuk-tumpuk, sehingga ia tidak mampu lagi mengembalikannya. Beralihlah ia ke fase baru dalam kehidupannya yakni fase munculnya berbagai tuntutan di mahkamah dan di hadapan hukum serta kepolisian. Pekerjaannya sekarang hanyalah berusaha menangguhkan hak pihak yang menghutanginya ke waktu lain. Bulan demi bulan berlalu. Hutang semakin melilit. 

Bayangan penjarapun mulai terlihat. Terkadang dalam bentuk peringatan dan ancaman, terkadang juga dalam bentuk pengaduan dan dakwaan. Demikianlah yang dilakukan oleh pihak pemberi hutang… 

Ia menjual semua yang dimilikinya. Villanya, mobil-mobilnya, tanahnya-tanahnya, berbagai aset dagangnya. Semuanya bisa membayar sebagian besar hutangnya. Tinggal sedikit bagian hutangnya yang dibiarkan oleh para penghutangnya, karena merasa kasihan kepadanya. Ia pindah ke sebuah rumah kecil. Di situ ia berkumpul bersama istri dan sepuluh anaknya. Sopir dan pembantu? Sudah tidak lagi mereka miliki. Malam hari mereka lalui dalam kegundahan dan kesedihan. 

Di tengah kemelut persoalan tersebut, terbersit dalam hatinya keinginan berkunjung kepada sahabatnya, Muhammad. Mungkin ia bisa membantu dengan sedikit uang. Ia adalah sahabatnya di masa kecil, dan juga rekan kerjanya dahulu. 

Pergi mengunjunginya atau tidak? Karena ketika Muhammad mengunjunginya dua tahun yang lalu, ia merasa sesak dengan berbagai kemewahannya dan juga oleh suara-suara musik dan ribut-ribut di rumahnya. Tetapi sekarang kebutuhan mendesak… 

Ia membulatkan tekad dan mancari waktu yang tepat, yakni waktu ashar besok hari. Di pertengahan Ashar, ia mengenakan pakaiannya. 

Tiba-tiba pintu rumahnya diketuk. Siapa? “Bilang saja tidak ada orangnya.” Rupanya ia adalah pemilik rumah yang hendak menagih uang sewa rumahnya. “Mana bapak kalian?” “Tidak ada di rumah.” Ia terpaksa mengundur kepergiannya setengah jam, sampai pemilik rumah itu menjauh dari rumahnya... 

Dengan tergesa-gesa ia keluar rumah dan mengendarai mobilnya, tujuannya adalah rumah Muhammad. Masih rumah yang lama, belum berubah. Ia sampai di rumah Muhammad tepat setelah adzan Maghrib. “Siapa di luar?” tanya orang di dalam. “Saya Shalih.” Jawabya. “Dia sedang ke masjid. Nanti ia pulang sesudah shalat.” Katanya. Ia segera mengendarai mobilnya sambil menundukkan kepala. Karena amatlah aib, jika menunggu dalam mobil sementara orang-orang lewat menuju masjid untuk shalat. Namun bagaimana kalau ia bertemu dengan Muhammad, lalu mendapatinya tidak shalat berjama’ah? Kemana ia harus pergi? 

“Aku belum berwudhu, sementara bila aku ingin shalat, ini sudah ada masjid.” Gumamnya. 

Ia pun berwudhu dan berangkat ke masjid untuk shalat. Ia mendapatkan shalat sudah di rakaat kedua. Seusai shalat, salah seorang Syaikh bangkit berdiri dan memegang pengeras suara. Setelah memuji Allah dan membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata: “Saya meminta waktu kalian lima menit saja.” Ia mulai berbicara tentang ketaatan. Bahwa ketaatan adalah sebab munculnya kebahagiaan dalam hidup. Tidaklah kalian mendengar firman Allah Ta’ala: 

]وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى {124}[

“Dan barangsiapa yang berpaling dari dzikir kepadaKu pasti ia akan mendapatkan kehidupan yang sempit.” (Thaha: 124) 

Kemudian ia menyinggung tentang bagaimana seseorang dapat konsekuen dalam hidupnya, menyebutkan beberapa faidah mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Ia juga menyebutkan tentang rizki. Aku mengangkat kepalaku untuk melihatnya. Ini hal yang penting buat diriku. Ia mengiringkannya dengan firman Allah Ta’ala: 

…. ]وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا {2} وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَيَحْتَسِبُ ….{3}[


“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, akan Allah berikan kepadanya jalan keluar. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, akan diberikan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (Ath-Thalaq: 2-3) 

Artinya, rizki itu datang melalui pintu yang belum pernah kamu ketuk dan belum pernah kamu bayangkan. 

Ia sudah menyelesaikan waktu lima menit, dan sudah menunaikan janjinya. 

Aku berkata kepada diriku sendiri, “Andai saja ia tidak memenuhi janjinya.” Ucapannya masuk kedalam hatiku. Kemana perhatianku terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut. selama ini aku sudah tersesat. Tidak lagi mengenal Allah, selain dalam kesusahan ini. Alhamdulillah, kini aku sudah mengenalNya… 

Ia telah memberi pengaruh pada diriku demikian mendalam. Sementara jiwaku tengah hancur dalam hal materi. Ia telah membangkitkan kesadaranku bahwa semua yang kualami penyebabnya adalah kemaksiatan. Aku ingat akan kelalaianku. 

Air mataku berderai. Aku bersiap-siap dan keluar dari masjid. Nah, itu dia Muhammad… 

Kami masuk ke rumahnya. Allahu Akbar, ia adalah teman seumur hidup, begitulah perumpamaannya. Ia menyambutku dengan baik, pada saat dimana orang-orang disekitarku sudah berlarian. “Bagaimana kabar anak-anakmu? Bagaimana kesehatanmu? Bagaimana pula kondisimu sekarang?” tanyanya. “Wahai Muhammad, jangan tergesa-gesa. Aku akan memberitahukan semuanya kepadamu.” Aku berbicara panjang lebar kepadanya. Kuceritakan segalanya secara rinci . selesai aku bercerita, ia mengutarakan kepadaku satu jawaban yang belum pernah aku dengar seumur hidupku. “Itu adalah rahmat Allah untuk dirimu. Engkau telah memakan yang haram, lebih banyak dari yang halal. Engkau juga telah meninggalkan banyak kewajiban agamamu dan menjauh dari Allah.. semoga hal ini juga dapat membangunkan hatimu. Agar engkau mengetahui bahwa materi (harta) itu tidak berarti apa-apa. Bahkan Allah akan membuat perhitungan kepadamu, sebagaimana dalam hadits: 

“Seseorang akan ditanya tentang empat perkara: Umurnya, untuk apa dia habiskan. Masa mudanya, untuk apa dia gunakan. Hartanya, dari mana ia mengambil dan kemana ia belanjakan. Dan tentang ilmunya, untuk apa dia gunakan.” 

Tetapi, alhamdulillah. Berapa hutangmu yang tersisa? Saya akan menanggung segala hutangmu yang tersisa. Dan rumah disebelah ini, sudah kubeli lima tahun yang lalu. Orang yang menyewanya sudah pergi dua bulan yang lalu. 

Muhammad bersumpah agar aku bisa tinggal di situ, sampai Allah memberi kemudahan kepadaku. Aku pun memeluknya. 

Sungguh ia orang yang shalih, dalam arti sesungguhnya. Seminggu kemudian kami tinggal di sebelah rumah Muhammad. Ia memiliki majelis setiap hari senin bersama teman-temannya, membaca beberapa buku agama. Anak-anakku mulai menghafal Al-Qur’an di masjid bersama anak-anaknya. Akupun mulai merasakan kenikmatan hidup. Keadaanku pun berangsur baik. Yang terpenting diantaranya adalah masalah agamaku dan rumah tanggaku. Seusai shalat Shubuh, aku duduk di masjid hingga matahari terbit.. 

Cahaya keimanan telah memasuki rumah tanggaku… 


Sumber : Perjalanan Menuju Hidayah, cet. Darul Haq, karya : Abdul Malik Al-Qasim 
Dinukil oleh : Abu Thalhah Andri abdul Halim

Read More......

UMAIR BIN AL-HAMMAM (Sungguh Ini Merupakan Hidup yang Panjang)



Pada perang Badar ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Bangkitlah kalian menuju Surga yang lebarnya seluas langit dan bumi." Umair bertanya, "Wahai Rasulullah, Lebar Surga seluas langit dan bumi?" Beliau menjawab, "Benar," Umair berkata, "Bah-bah." Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, "Apa yang menyebabkan kamu mengatakan Bah-bah?" Umair menjawab, "Demi Allah, Tidak wahai Rasulullah, aku hanya berharap, mudah-mudahan aku termasuk penghuninya." Rasulullah bersabda, "Sungguh, engkau termasuk penghuni Surga."

Umair lalu mengambil beberapa biji kurma dari tempat makanannya lalu menyuapnya. Kemudian berkata, "Sekiranya aku masih hidup sehingga menghabiskan kurma ini, sungguh ini merupakan kehidupan yang sangat panjang." Selanjutnya ia melemparkan kurma yang masih tersisa untuk maju berperang sebentar kemudian ia terbunuh dalam peperangan ini. (HR. Muslim, 1901.)

Read More......

UTBAH AL-GHULAM (Akankah Engkau Menyiksa KekasihMu)

Anbasah al-Khawash berkata, "Suatu ketika Utbah al-Ghulam berkunjung ke rumahku, kemungkinan besar ia akan menginap. Benar, dia menginap. Kemudian pada waktu sahur aku mendengar dia menangis tersedu-sedu. Ketika pagi hari, aku bertanya, 


'Hatiku susah sejak aku mendengar tangisanmu, sebenarnya ada apa?'


Dia menjawab, 'Wahai Anbasah, semalam aku membayangkan saat-saat amalanku dibeberkan di hadapan Allah.' Tiba-tiba ia jatuh pingsan lalu aku memeluknya. Aku perhatikan matanya, ternyata kedua matanya terbalik, ia benar-benar pingsan, bahkan matanya memerah, kemudian tubuhnya lemas!

Aku memanggil namanya, "Utbah!" Ia menjawab dengan suara lirih, "Bayangan ditampakkannya amal di hadapan Allah telah memutus ikatan orang-orang yang saling menyayangi."

Setelah itu ia mengeluarkan bunyi nafas dari tenggorokan seperti orang yang sedang sakaratul maut, lalu berkata, "Akankah Engkau menyiksa orang yang mencintaiMu sementara Engkau ya Allah Mahahidup lagi Mahamulia?"

Utbah mengucapkan kalimat itu berulang-ulang sehingga… Demi Allah… aku dibuat menangis karenanya. (Al-Hilyah, 6/235.)

Read More......

Menjaga Rahasia 2

Keterbukaan tetap ada batasnya, sebagaimana sebagian rahasia harus tetap menjadi rahasia. Seorang suami atau istri pasti memiliki hubungan lain di samping dia sebagai suami atau istri, bisa jadi dia adalah seorang teman, atau saudara atau anak hubungan-hubungan yang lain dan tidak jarang dirinya sebagai teman dititipi rahasia oleh teman, atau dia sebagai anak dititipi rahasia oleh bapak atau ibunya, tentu dalam masalah ini rahasia tersebut tetap harus disimpan dari pasangannya, sebab ini merupakan salah satu bentuk amanat, tidak boleh dibocorkan hanya dalam alasan keterbukaan, karena keterbukaan tetap bertepi.


Apalagi bila hal tersebut termasuk hal-hal yang tidak rugi bila tidak diketahui atau bila diketahui tidak membawa manfaat apa pun, malah bisa-bisa sebaliknya, mendatangkan mudharat, mendingan disimpan saja, tidak usah diketahui, karena ada beberapa hal yang lebih baik kita tidak mengetahuinya.


Sebagaimana Anda tidak suka rahasia Anda disebar, maka orang lain pun juga demikian, coba posisikan diri orang lain sebagai diri Anda saat Anda hendak menyebarkan rahasianya. Bertanyalah, seandainya orang lain melakukan ini terhadap saya, relakah saya? Siapa pun tidak berharap aib atau kekuarangan atau rahsianya diungkap dan dibocorkan, dan hal tersebut memang suatu hak yang terjaga. “Barangsiapa menutupi (aib) seorang muslim maka Allah akan menutupinya di dunia dan di akhirat.” (Diriwayatkan oleh Muslim).

Sebagian pasangan, dengan dalih keterbukaan, ingin mengetahui seluk beluk kehidupan orang lain secara rinci, mengendus dan menelusuri jejak, saat dia menemukan, solah-olah telah menemukan sesuatu yang sangat berharga, seolah-olah telah membuat jasa besar yang layak diberi bintang tanda jasa, akibatnya dia terjebak ke dalam tajassusyang tercela. “Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.” (Al-Hujurat: 12). Sudah caranya salah, masih ditambah dengan kesalahan pula, yaitu menyebarkannya, bukan menutupinya dan menasihati pelakunya.

Rahasia Kamar

Ini adalah sebuah rahasia yang tidak boleh bocor ke luar kamar, apa pun alasannya, alasan keterbukaan di sini tidak diterima, suami atau istri tidak patut membukanya kepada siapa pun, sebagaimana di saat melakukannya tidak ada orang ketiga, maka setelahnya juga jangan ada orang ketiga yang tahu karena salah satu dari suami atau istri buka mulut.

Seorang istri tidak boleh membukan apa yang terjadi di dalam kamar dengan suaminya kepada keluarganya atau kepada siapa pun, sekalipun dia adalah teman dekatnya atau sahabat karibnya, karena rahasia semacam ini termasuk aurat yang tidak boleh diumbar atau dibuka, masak aurat sendiri di bawa ke mana-mana secara terbuka? Malu.

Menjaga rahasia di bidang ini termasuk perekat kelanggengan rumah tangga, sebaliknya membukanya memicu jalan setan yang durjana, di samping bisa menghancurkan rumah tangga. Bila seorang wanita dilarang menyebutkan sifat-sifat atau ciri-ciri wanita lainnya kepada suaminya, karena hal itu bisa membuka ruang fantasi suami kepada wanita tersebut, dan selanjutnya adalah setan gundul yang akan bekerja, maka membuka rahasia kamar suami istri tidak berbeda akibatnya dengan hal itu.

“Sesungguhnya seburuk-buruk manusia di hadapan Allah pada hari Kiamat adalah seorang suami yang mendatangi istrinya kemudian dia menyebarkan rahasianya.” (Diriwayatkan oleh Muslim). 

Wallahu a’lam.

Read More......